Mempelajari Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya part 2

Pola Perang Asimetris

Perang konvensional yang mengerahkan kekuatan militer secara terbuka sedangkan peperangan asimetris yang cenderung non militer (dan non kekerasan) --- sejatinya mereka itu serupa tetapi tidak sama. Serupa pada “pola”-nya, tak sama atau berbeda dalam hal “sifat dan aksi-aksi”-nya.
Pola perang konvensional mungkin telah baku di dunia militer. Tahap pertama: “Bombardir,” entah bombardir melalui pesawat tempur, atau pasukan arteleri (udara) jarak jauh, dsb; tahap kedua: “Masuknya pasukan kavaleri” berupa tank-tank, atau kendaraan lapis baja lain; dan tahap ketiga: “Pendudukan oleh infanteri.” Inilah pola lazim dan garis besar perang militer secara terbuka. Adapun taktis dan maksud tahapan di atas tak akan diurai detail, bukan apa --- tidak ada niatan menggurui siapapun terutama para ahli dan pihak-pihak berkompeten dalam bidangnya melainkan sharing pemahaman terkait “pola perang” yang nanti dibahas lebih lanjut karena pola tersebut ternyata memiliki “ruh” yang sama, walau ujud atau aksi berbeda.
Bombardir di awal perang konvensional contohnya, pada peperangan asimetris ternyata juga diawali dengan “bombardir,” namun ujudnya berupa isue-isue yang ditebarkan oleh pihak-pihak terkait dan kelompok yang terlibat (LSM dan/atau sosok tertentu). Dalam “Aksi Mei 1998” misalnya, isue yang disebar ke tengah-tengah publik dalam rangka menggiring opini adalah maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tampaknya demikian pula dengan Arab Spring di Jalur Sutera, isuenya hampir tidak jauh berbeda dengan peristiwa di Jakarta karena berkisar tentang kemiskinan, korupsi, demokrasi, pemimpin tirani, dan lain-lain. Itulah ISUE selaku bahan baku dan/atau taburan awal sebuah asymmetric warfare melalui aksi-aksi massa.  
Sedang “Masuknya Kavaleri” sebagaimana tahapan perang militer di muka, dalam perang asimetris disebut TEMA atau AGENDA. Sekali lagi, Arab Spring contohnya, “tema”-nya adalah gerakan massa guna menurunkan rezim penguasa setelah sebelumnya dibombardir via isue-isue. Demikian juga dengan tema atau agenda aksi massa di Jakarta pada Mei 1998 dulu, kendati kejatuhan elit penguasa sesungguhnya hanya pintu pembuka dalam rangka  melebarkan kolonialisme secara lebih luas, masif dan sistematis. Itulah sekilas tentang TEMA dalam perang non militer.
Tahap akhir dalam pola perang militer adalah “Masuknya Infanteri” guna menduduki wilayah target. Maka analog pola ini dalam perang nirmiliter adalah “mengendalikan sistem ekonomi dan kontrol SDA di negara target.” Itulah SKEMA penjajahan di muka bumi sebagaimana doktrin kolonialisme yang dihembuskan Henry Kissinger di muka.
Dengan demikian, pola-polanya terlihat sama baik pada perang konvensional maupun perang nirmiliter, hanya aksi-aksinya berbeda. Apabila peperangan militer tahapannya: “Bombardir” --- “Masuknya Kavaleri” --- “Pendudukan oleh Infanteri,” sedangkan pola peperangan nirmiliter tahapannya ialah: “Isue” --- “Tema” --- “Skema.” Sekali lagi, keduanya sebenarnya serupa tetapi tak sama, berbeda-beda tetaplah (tujuan) sama.
Pola lain yang layak dicermti dalam asymmetric warfare adalah modus proxy(boneka, atau perwalian/pengganti). Dengan kata lain, pada penyebaran “isue” misalnya, ia memiliki person, LSM. atau lembaga tersendiri, dll yang “digaji” karena perannya sebagai pengganti atau ‘boneka’. Demikian pula dalam upaya penggebyaran “tema” --- kaum peremot perang juga memiliki orang-orang, atau LSM, punya media massa, media sosial, situs-situs khusus, dan lainnya. Dan uniknya, bahwa antara komprador di tahapan isue dan boneka di tahapan tema, kerapkali tidak saling mengenal.  
Sedangkan untuk memuluskan “skema” sebagai tahapan akhir dari pola perang nirmiliter, lazimnya dipasang orang, atau kelompok yang bermain pada tataran kebijakan negara cq rezim berkuasa. Artinya, ia, mereka atau kaum pengkhianat bangsa tersebut bisa selaku staf ahli, atau bahkan justru sebagai pejabatnya sendiri, dan lain-lain. Inilah yang disebut oleh Bung Karno sebagai kaum komprador, yaitu orang atau kelompok yang justru akan menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri dengan berbagai alasan dan pembenaran.      
  
Sumber Peperangan Asimetris
Di atas telah diurai walau sekilas tentang sifat, model atau bentuk, dan pola pada peperangan asimetris mulai dari isue, tema dan skema (ITS), maka ujung catatan sederhana ini membahas “sumber” dari peperangan nirmiliter yang kini menjadi metode favorit kolonialisme.
Konflik, atau perang model apapun --- baik intrastate maupun interstate, dan entah perang konvensional, hybrid war, proxy war, bahkan perang asimetris itu sendiri, hanyalah TEMA. Sekali lagi, perang dan konflik dalam skala besar cuma sebuah tema belaka, kenapa begitu? Karena skema (tujuan) kolonialisme yang sesungguhnya dan bersifat lestari ialah kontrol ekonomi dan pencaplokan SDA di wilayah koloni. Menurut Dirgo D Purbo, ahli geopolitik Indonesia, “Conflict is the protection oi fow and blocade somebody else oil flow”.   
Dengan demikian, melacak sumber sebuah tema ---perang asimetris contohnya--- harus ditelusuri dulu baik asal-usul kolonialisme, ideologi dasar, maupun watak pergerakan.
Tak boleh dipungkiri, bahwa perilaku geopolitik para adidaya di era imperialisme, tak lain karena dipicu oleh Revolusi Industri (1750-1850) sebagai motifnya. Bila membahas motivasi, memang ia dianggap sebagai rujukan pokok sebuah ‘perilaku’ apapun, kapanpun dan dimanapun. Revolusi Industri melanda belahan dunia Barat diawali dari Inggris, kemudian menyebar ke Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya merambah hampir ke seluruh dunia.
Dan sebagai konsekuensi logis industrialisasi tadi, akhirnya menjadi faktor utama dari negara - negara Barat meluaskan “kepentingan nasional” (motivasi) yang mutlak harus dipenuhi agar sektor-sektor industrinya terus berjalan. Inilah titik mula imperialisme dan/atau kolonialisme di muka bumi, kenapa demikian? Betapa industrialisasi ---ketika itu, bahkan hingga kini--- telah dianggap semacam ‘peradaban baru’ menggantikan peradaban (cocok tanam) sebelumnya. Sementara imperialisme itu sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara lain dalam rangka meraih wilayah koloni demi memenuhi kepentingan nasional. Dan tak boleh dielak, bahwa imperialisme adalah benih serta varian awal daripada mekanisme kolonialisme di dunia.
Demikian juga dengan kapitalisme sebagai ideologi, maka menyingkat sub bahasan ini dapat dijelaskan, bahwa ekonomi neoliberalisme (neolib) adalah varian terbaru kapitalisme dimana watak dasar kapitalisme adalah: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya; dan (2) mengurai/menciptakan pasar seluas-luasnya. Maka pantas saja bila penjajahan dianggap metode bakunya!
Dari hal di atas maka singkatnya, secara tersirat bahwa model ekonomi neolib merupakan bibit atau benih-benih asymmetric warfare. Inilah model kedua (“Melalui Kebijakan Negara”) daripada perang asimetris sebagaimana diulas di atas, selain ‘Gerakan Massa” sebagai model pertamanya.
Selanjutnya, menurut Giersch (1961), neolib adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun atas tiga prinsip, antar lain adalah: (1) tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penertiban undang-undang.
Merujuk tiga prinsip Giersch di atas, bahwa peran negara dalam neolib dibatasi hanya pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Akan tetapi dalam perkembangannya ---sesuai paket Konsensus Washington--- maka peran negara ditekankan kepada empat hal, antara lain: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Tak boleh dielak, bahwa muara dari prinsip-prinsip ekonomi neolib dan Konsensus Washington sesuai penjelasan Giersch dan Stiglitz di atas, tak lain dan tak bukan adalah Structural Adjusment Progammes (SAPs)-nya International Moneter Fund(IMF) dimana butiran-butirannya sebagai berikut: (1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; (3) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.
Dari diskusi singkat di atas, bahwa varian terbaru ekonomi neolib kini ada (being),nyata (reality), dan berada (existence) dalam SAPs-nya IMF. Dan sudah barang tentu, ia merupakan instrumen sakti bagi IMF untuk mengendalikan negara-negara kreditur. Inilah SUMBER dari segala sumber asymmetric warfare melalui pintu “Kebijakan Negara.” Itulah bentuk atau model kedua perang asimetris ---selain model pertama ialah gerakan massa--- sebagaimana diulas di muka.
Contoh kasus. “Marak”-nya flu burung misalnya, pada perang nirmiliter hanyalah sekedar ISUE permulaan, karena TEMA yang akan diangkat kemudian ialah daging langka/mahal, sedang SKEMA-nya adalah memperluas impor daging sebagaimana butiran SAPs-nya IMF. Atau, isue beras langka, atau beras mahal pun demikian --- itu cuma tebaran isue karena niscaya akan disusul dengan agenda/tema untuk memperluas impor. Dalam konteks ini, perluasan impor boleh jadi cuma sekedar tema, namun bisa merupakan skema gerakan. Tergantung keadaan. Artinya, jika perspektif asimetris memandang perluasan impor hanya sekedar tema, maka skema yang akan dijalankan atau ditancapkan ialah ekspansi korporasi-korporasi pangan milik asing guna menguasai kantong-kantong logistik di sebuah negara (baca: Siaran Pers Global Future Instiute (GFI) Daulat Pangan dalam Bahaya).
Demikian adanya, terimakasih.   

Referensi:

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mempelajari Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya part 2"

Post a Comment