Undang - Undang ITE dan Pengaruhnya Terhadap Etika Berinteraksi Masyarakat dengan Tehnologi Informasi

Inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan kita untuk bisa berinteraksi dan berbagi informasi setiap saat pada setiap orang tanpa harus bertatap muka secara langsung atau biasa dosebut dengan Cyber Public Room.
Jejaring sosial atau media komunikasi lainnya itu merupakan ‘Cyber Public Room’ atau ruang publik maya dan ketika kita berada dalam suatu ruang publik kita harus punya etika atau attitude yang baik dan benar dalam berinteraksi dengan orang lain, khususnya ketika kita berinteraksi dengan salah satu tokoh masyarakat atau mebawa-bawa nama tokoh tersebut dalam social media tersebut, ruang publik pasti memiliki ketentuan/hukum/undang-undang yang berlaku guna mengatur tingkah laku para manusia yang berada di dalamnya.
Negara kita mempunyai undang-undang yang mengatur hal tersebut yaitu UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
UU ITE ini mengatur berbagai hal terkait kegiatan di dunia maya, termasuk salah satu isu sensitif yaitu masalah pencemaran nama baik. sebagai contoh, yaitu pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pemilik akum @triomacan2000 terhadap Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarif Hasan dan isu penghinaan ras yang dilakukan oleh Farhat Abbas terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya Purnama yang justru masalahnya dibesar-besarkan oleh tokoh Muslim Tionghoa.
Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu aturan yang mengatur tentang penggunaan social media agar setiap orang mendapatkan kebebasan dan kenyamanannya dalam jejaring social tanpa ada yang terganggu.
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
·                pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik
·                pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang

A.           Pengaturan Mengenai Informasi Dan Transaksi Elektronik
Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain:
1.        pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah
(Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE)
2.        Tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE)
3.         Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE)
4.        Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)

B.            Pengaturan Mengenai Perbuatan Yang Dilarang
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan.
(pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 uu ite);
2.        Akses ilegal (pasal 30);
3.        Intersepsi ilegal (pasal 31);
4.        Gangguan terhadap data (data interference, pasal 32 uu ite);
5.        Gangguan terhadap sistem (system interference, pasal 33 uu ite);
6.        Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);

Untuk kasus diatas tersebut, termasuk dalam pasal 28 tentang @triomacan dan Farhat Abbas di atas saya rasa itu masuk dan diatur di Pasal 28 tentangpenghinaan/pencemaran nama baik. Namun, ada beberapa kontroversi yang mengiringi UU ITE, diantara nya :
1.            UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambat kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3).
2.    Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang?
3.         Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
4.     Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
5.            Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software khusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.

Selain, adanya kontroversi-kontroversi di atas, ada juga beberapa pasal UU ITE yang menurut saya bisa membahayakan/merugikan  blogger, diantaranya adalah:
Pasal 27 ayat (1)
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pasal 27 ayat (3)
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. ”
Pasal 28 ayat (2)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Kenapa undang – undang tersebut membahayakan / merugikan bogger? Hal ini berkaitan dengan Undang – undang dibawah ini :
Pasal 45 ayat (1)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 45 ayat (2)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Namun, dalam UU ITE ada beberapa pasal-pasal yang mengandung pasal karet, yaitu Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1). Pasal tersebut mengatur sanksi hingga enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar untuk dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik. Hukuman itu jauh lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana yang sama namun diatur dalam Pasal 30 KUHP.
Itu membuktikan tidak seragamnya atau tidak sesuainya UU ITE dengan UU tindak pidana. seharusnya UU ITE dan UU pidana saling terkait satu dengan yang lain karena jika itu berbeda maka akan menimbulkan ketidak setimpangan hukum dan semakin merumitkan para penegak hukum.

Penegak hukum memang selaiknya tidak mengekang kebebasan berekspresi di media sosial. Namun, sebagaimana kehidupan bermasyarakat, penggunaan media sosial memang harus memperhatikan etika sosial. Tanpa itu semua, media sosial –yang sejatinya dibikin untuk memudahkan pergaulan– hanya akan menggiring kita ke sikap-sikap antisosial.

Refrensi

Undang-undang ITE
Wikipedia

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Undang - Undang ITE dan Pengaruhnya Terhadap Etika Berinteraksi Masyarakat dengan Tehnologi Informasi"

Post a Comment